Menghancurkan Penulis Lewat Resensi


Saya mendapat sebuah tawaran mengejutkan beberapa minggu yang lalu. Tawaran dari orang ini tidak pernah terpikir sekilas pun di otak saya sebelumnya. Dia mengatakan sering membaca review-review di blog saya, dan tertarik untuk mengajak saya bergabung di kelompoknya. Sampai disini saya senang, saya pikir saya akan belajar ilmu resensi lagi dari orang yang lebih jago dari saya. Tapi ternyata….

Kelompok mereka terdiri dari orang-orang yang sering memberikan resensi. Namun…mereka dibayar untuk melakukan itu oleh seseorang (bayarannya cukup menggiurkan). Ada dua produk yang mereka tawarkan: pertama resensi untuk menjatuhkan, yang kedua, resensi untuk menaikkan penjualan.

Saya geleng-geleng kepala, dan menolak mereka dengan halus. Sampai sebegitukah persaingan buku-buku sampai melakukan hal-hal yang “sangat tak beradab” atau menurut istilah saya tak ber-perikebuku-an?

Saya memang suka mengulas buku. Tetapi tujuan saya hanya sebagai masukan bagi penulis dan pembaca. Saya tak pernah ada niatan “menjatuhkan”. Bagi saya, resensi itu adalah seperti seorang juru masak menghidangkan masakannya kepada saya, dan saya memberikan kesan-pesan saya kepada juru masak tersebut.

“Pak, masakan Bapak terlalu pedas bagi saya.”

“Maaf, Pak. Apa tidak sebaiknya ditambah garam. Kok hambar, ya?”

Hanya sekedar seperti itu.

Saya suka menyantap sambal terasi lombok lima belas, dan makan nasi goreng level 5 (untuk tingkat kepedasan) padahal depot itu cuma menyediakan sampai level 3. Tetapi saya tak pernah mengatakan, “Banci kamu”, kepada orang-orang yang sudah kepedasan meskipun cuma diberi satu lombok. Ini cuma selera. Dan selera tidak bisa diperdebatkan.

Dalam hal meresensi buku, hal ini juga berlaku. Pembaca mempunyai kepribadian yang berbeda-beda. Mereka juga terdiri dari ras dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, sehingga adanya perbedaan dalam hal resensi itu wajar. Orang yang menyukai cerita kriminal bisa saja menganggap lebay cerita-cerita cinta. Orang yang suka cerita cinta bisa saja sangat anti terhadap cerita horor. Hal-hal semacam ini tidak usah dipermasalahkan dengan memberikan resensi yang jelek pada genre yang tidak disukai.

Dalam memberikan sebuah resensi, saya berusaha imbang antara teori fiksi dan pangsa pasar. Jika saya menggunakan kritik sastra untuk memberikan resensi buku, maka semua novel dewasa ini bisa habis saya kritik. Secara teori dekonstruksi saja, mereka sudah amblas. Tetapi sekali lagi, saya tidak melakukannya. Saya selalu menempatkan diri saya sebagai pembaca. Saya menempatkan novel-novel itu sebagai alat hiburan. Apakah saya terhibur? Apakah saya bisa merasakan penderitaan/kegembiraan seorang tokoh? Dan hal-hal lain semacam itu. Saya tidak pernah berniat menjatuhkan mereka. Apalagi teman-teman saya juga terdiri dari penulis-penulis juga.

Tetapi diluar sana, ada tukang-tukang-resensi yang bertujuan lain. Mereka tidak bertujuan memberikan feedback, tetapi sengaja menjatuhkan. Saya benar-benar tidak habis pikir. Sebab pangsa buku di Indonesia masih sangat besar. Jumlah buku yang beredar semestinya masih jauh dibawah standar “jumlah layak.”

Yang harus dilakukan seharusnya bukan menjatuhkan, tetapi lebih ke arah “membuat banyak mata” terbuka bahwa dengan membaca kita mempunyai banyak kesempatan untuk maju. Jika kondisi ini tercapai, saya yakin pasar buku menjadi hidup. Harga buku pasti murah karena banyak yang membaca buku, sehingga faktor kerugian yang biasanya dimasukkan dalam harga buku menjadi berkurang.

Saya menyadari, pendapat saya diatas memang terlalu naif. Pada masa sekarang menulis bukan sekedar untuk keilmuan, tetapi digunakan untuk berperang. Oleh karena itu, cukup dipahami, bahwa diluar “orang-baik-baik” juga terdapat non “orang-baik-baik”. Kita tak dapat mencegah mereka. Para penulis bisa menghadapinya dengan menjalin hubungan yang baik dengan pembaca-pembaca. Banyak cara yang bisa dilakukan, misal, membuka blog pribadi untuk menampung keluhan atau sekedar ngomong-ngemeng dengan mereka. Buka akun FB, twitter, instagram, pinterest. Ada baiknya juga sesekali meng-gratis-kan tulisan mereka yang dipajang, entah di wattpad, gramedia writing project, atau di media lainnya. Tak kenal maka tak sayang. Kalau pembaca sudah mengetahui penulis tersebut baik, serangan lewat resensi buruk akan berkurang.

36 responses to “Menghancurkan Penulis Lewat Resensi

  1. Tapi, menurutku masih lebih “baik” yang kejam dan dimaksud menjatuhkan. Karena, biasanya kalau sebuah karya itu bagus, sepedas apa pun komentarnya, pasti InsyaAllah eksis. Yang jauh lebih burut menurutku, kalau para peresensi disuruh untuk “manis-manisin” sebuah karya untuk mendongkrak penjualan. Dan, saat yang membaca resensi tersebut percaya, karya tersebut dibeli tapi ternyata di luar ekspektasi “wow” yang dihadirkan peresensi, itu yang sangat mengecewakan. Itu yang sangat “kejam”, menurutku. *sering ngalamin gitu*

    Suka

    • Dua-duanya buruk. Tdk ada, dan tdk bisa dipilih yg lebih baik. Iya. Menurutku, keduanya tak bisa dibandingkan, terikat teori incommensurability, jahat dijalannya masing-masing.

      Suka

  2. Bagus sekali memang tulisannya… Sip mas brooo…

    Suka

  3. memang selalu ada sisi baik dan buruk. disini lah dibutuhkan mental yang tangguh, yang gak mudah “cengeng”.dar seorang penulis apalagi penulis yang jam terbang nya masih mau menanjak.

    Suka

  4. Penulis-penulis cengeng pasti seneng nih baca tulisan ini. Dan saya sebagai orang yang sering memberi kritik tajam sangat merasa direndahkan di sini. Seolah mengkritisi secara tajam itu tidak butuh mikir, tinggal mangap, ada yang bayar pula.

    Di kolom komentar tulisan ini banyak pula anak polos yang langsung percaya, bahkan melakukan generalisasi. Dan ketika seorang komentator bilang di Goodreads banyak yang sadis, si penulis bilang bahwa di Goodreads memang bebas–seolah yang di luar Goodreads kudu lemah lembut.

    Kalau beneran ada yang mau bayar saya untuk mengkritik sebuah buku secara tajam, sinilah saya terima. Biar saya lebih semangat. Dan buku-buku jelek berkurang di toko buku.

    Suka

    • Saya pikir, inti masalahnya bukan soal pedas/tidaknya kritik. Yang jadi masalah, ketika penulis resensi membuat kritik positif/negatif tergantung pada bayaran. Kritikus bayaran semacam ini tidak jujur pada dirinya sendiri, dia cuma menjadi alat dalam persaingan bisnis antarpenerbit. Suatu ketika ia akan dipesan untuk menjatuhkan karya yang bagus, dan di saat lain ia akan dipesan untuk memuji-muji karya yang buruk. Kritikus busuk semacam ini justru merusak tujuan kritik itu sendiri.

      Suka

    • Saya pikir, inti masalahnya bukan soal pedas/tidaknya kritik. Yang jadi masalah, ketika penulis resensi membuat kritik positif/negatif tergantung pada bayaran. Kritikus bayaran semacam ini tidak jujur pada dirinya sendiri, dia cuma menjadi alat dalam persaingan bisnis antarpenerbit. Suatu ketika ia akan dipesan untuk menjatuhkan karya yang bagus, dan di saat lain ia akan dipesan untuk memuji-muji karya yang buruk. Kritikus busuk semacam ini justru merusak tujuan kritik itu sendiri.

      Suka

  5. Saya baru tau mbak kalo ada pekerjaan meresensi yg bertujuan menjatuhkan. Hm… sampai seperti itukah pergulatan di dunia buku sampai rela menjelek2an sesama penulis. Jadi bertanya2, apakah rezeki yg didapat jadi berkah ya >____< hanya Allah yang tahu. Nice sharing mbak.

    Suka

  6. haduh mbak, mengelus dada jadinya. Kok ya ada aja orang yang bersifat iri ya? Yaa… kembali ke kita masing2, tetaplah dengan tujuan menulis, harus bener2 lurus. Insyaallah segala sesuatu jika dilakukan dengan niat baik, akan mendapat kebaikan pula. Wallahualam Bi Shawab….

    Suka

  7. Yang begini ini bukan hanya memojokan penulis. Bagaimana kalau nantinya penilaian terhadap peresensi jadi buruk. Karena banyak sekali peresensi yang meskipun kritiknya pedas tetapi tidak bermaksud menjatuhkan malah maksudnya memberi masukkan. Apalagi bila argumennya memakai pisau bedah keilmuan yang jelas.

    Suka

  8. Pantes ada yg rada sadis gitu

    Suka

  9. Waduh br tau ada yg mcm bgtuan..

    Suka

  10. sayang gak semua penulis siap nerima kritikan

    Suka

  11. salut mas…
    tak ada yang lebih indah selain kejujuran, di tempatkan di manapun dia. 🙂

    ikut geleng2 untuk tawaran itu. #terlalu

    Disukai oleh 1 orang

  12. Kejam juga ya ternyata

    Suka

  13. mereka tak pernah tahu curhatan penulis yang bukunya nyungsep di pasaran kali ya… hmmm 😦

    Suka

  14. Miris mendengar kabar seperti ini. Dan Anda sudah mengambil keputusan yang betul, Mas. Kalau nulis resensi cuma bikin begitu, apa enaknya demi rupiah semata-mata? Semoga dunia perbukuan kita kian maju sehingga masyarakat jadi melek dan memicu kemajuan di bidang lain 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  15. Saya sudah sering dengar tentang kaum2 seperti itu,,, kasihan yang menjadi korbannya..

    Suka

  16. Persaingan makin berat jadilah bnyak yg curangan2an

    Suka

  17. Dunia “gelap”. Serem

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.