Mengenal Teknik Arus Kesadaran dalam Novel


stream of consciousness

Sumber: robertkernodle.hubpages.com

Marilah kita perhatikan cuplikan novel Marga T berjudul Sekuntum Nozomi Buku Kesatu pada halaman 30 dibawah ini

“Eh, Sabrina lagi-lagi melamun!” ujar Kok Beng, namun orangnya sendiri tidak mendengar. Dia memang sedang tenggelam dalam kenangan.

Sabrina-chan….”

Tangannya hangat, genggamannya tulus, bukan asal salam tempel. Tapi ah, matanya itu yang sangat memukau. Mata yang selalu tersenyum.

Dokter Matsuda…”

Kita tidak bingung pada bagian “Sabrina-chan…” dan “Dokter Matsuda…”. Kedua nama orang tersebut ditulis dengan huruf miring karena itu terjadi di masa lampau, sementara pengucapan nama tadi di paragrap-paragrap yang terjadi saat ini (present) sehingga untuk membedakan present dan past penulis membedakannya dengan penulisan miring.

Tanda petik di kedua penyebutan nama tersebut pun juga gampang dimengerti karena kutipan dari ucapan seseorang. Kedua nama ini diucapkan oleh pemilik nama sewaktu mereka berkenalan.Tetapi perhatikan pada bagian:

Tangannya hangat, genggamannya tulus, bukan asal salam tempel. Tapi ah, matanya itu yang sangat memukau. Mata yang selalu tersenyum….

Kata-kata ini berasal dari Sabrina. Tetapi mengapa tidak ada tanda kutip? Inilah yang disebut sebagai teknik narasi arus kesadaran (stream of consciousness) yang diungkapkan oleh psikolog William James pada buku The Principles of Psychology (1890).

Kesadaran tokoh fiksi terdiri dari dua jenis, speech level (saat pengucapan) dan prespeech level (sebelum diucapkan). Prespeech level terjadi tanpa logika dan tak memakai dasar-dasar komunikasi. Kita dapat membayangkan prespeech terjadi dalam benak seorang tokoh fiksi. Karena terjadi dalam level benak, maka tak jarang gambaran pemikirannya bisa melompat-lompat (acak). Sebaliknya, speech level diatur oleh logika, memakai dasar-dasar komunikasi dan rasional. Teknik arus kesadaran yang dipakai pada sebuah novel memakai prespeech level.

Dengan mengacu penjelasan sebelumnya, maka fiksi arus kesadaran adalah suatu jenis fiksi yang penekanan dasarnya terletak pada penjelajahan atas kesadaran pada prespeech level dengan maksud utama sebagai pengungkapan keadaan batin para tokoh yang sedang tampil. Keadaan batin ini meliputi sensasi, proses asosiasi, imajinasi, ilusi, perlambangan, perasaan, kenangan dan gambaran-gambaran. Ada empat teknik. Keempat teknik tersebut adalah eka cakap dalaman langsung (direct interior monologue), eka cakap dalaman tak langsung (indirect interior monologue) dan senandika (soliloquy)

Eka Cakap Dalaman Langsung (direct interior monologue)
Eka cakap dalaman langsung adalah penceritaan isi/percakapan batin tokoh tanpa bantuan pencerita (narator) sama sekali. Pada teknik ini tidak ada kata-kata semacam “kata hatiku”, “batinku berkata”, “saya pikir” atau “dalam hatinya”. Meskipun tokoh tersebut adalah narator cerita, ia akan melepaskan sementara fungsi naratornya dan bercakap-cakap sendiri. Kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang pertama, baik tunggal maupun jamak (“aku” atau “kita”) serta kata ganti orang ketiga baik tunggal atau jamak (“dia” atau “mereka”). Contoh dari eka cakap dalaman langsung dapat anda lihat di penjelasan awal artikel ini, yaitu pada novel Sekuntum Nozomi Buku Kesatu pada halaman 30. Bagian yang termasuk eka cakap dalaman langsung adalah:

Tangannya hangat, genggamannya tulus, bukan asal salam tempel. Tapi ah, matanya itu yang sangat memukau. Mata yang selalu tersenyum.

Kata-kata diatas diucapkan Sabrina di dalam hatinya ketika ia berkenalan dengan dokter Matsuda.

Eka Cakap Dalaman Tak Langsung (indirect interior monologue)
Teknik ini hampir sama seperti eka cakap dalaman langsung, hanya saja di teknik ini si tokoh memberikan bantuan keterangan kepada pembaca. Si Tokoh sadar bahwa dia bukan sekedar tokoh tetapi bertindak sebagai orang yang bercerita kepada pembaca (narator). Sebuah paragrap dibawah ini akan memberikan sedikit ilustrasi tentang eka cakap dalaman tak langsung. Perhatikan pada kata-kata berhuruf cetak tebal.

Aku bingung harus melakukan apa. Aku bukan pacarnya, bukan pula saudara. Jika aku harus membelanya, apakah tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak? Ah tidak perduli! Aku berpikir, aku harus membantunya! Tuhan, apakah aku salah? Bukankah setiap manusia tidak pantas diperlakukan seperti itu?

Senandika (soliloquy)
Senandika biasa dipakai dalam drama. Mengacu pada percakapan tokoh di dalam batinnya terhadap dirinya sendiri. Ketika dia berbicara, tokoh-tokoh lain di sekitarnya seakan-akan tak mendengar pembicaraan tokoh yang sedang ber-senandika. Dalam sebuah novel ber-teknik arus kesadaran, senandika digunakan untuk mengungkapkan keadaan batin tokoh. Pada saat mengungkapkan, kehadiran narator menghilang. Si tokoh tampak seakan-akan berbicara kepada pembaca namun pembaca tetap tak merasa bahwa sang tokoh berbicara kepadanya. Senandika mirip dengan eka cakap dalaman tak langsung. Perbedaannya terletak pada ketidakhadiran narator ketika tokoh berbicara pada pembaca dan tidak adanya keterangan-keterangan semacam “kata hatiku”, “batinku berkata”, “saya pikir” atau “dalam hatinya”

Contoh:

Aku berusaha membuka mata. Perlahan-lahan suatu gambaran kabur mulai jelas. Aku ingat hanya saat masuk ke dalam mobil, dua jam yang lalu. Pak Burhan, sopirku, akan mengantarkanku ke gedung di jalan Panglima Sudirman. Namun sekarang, aku melihat Pak Burhan tertelengkup dengan darah menggenang di sekitar leher. Apa yang sedang terjadi? Jika Pak Burhan terluka, kenapa aku tidak. Hei, siapa itu disamping Pak Burhan. Aku? Ya, aku? Kalau sosok itu aku lantas kenapa aku bisa memandangnya. Pecahan kaca. Pintu yang ringsek. Moncong mobil menghantam pohon beringin. Dua ban belakang mobil tergeletak dua meter dariku. Apakah aku dan Burhan kecelakaan? Apa sekarang aku sudah mati? Haruskah aku berdoa seperti yang diajarkan agama-agama karena aku mati. Itu kalau doa masih belum terlambat bagiku.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.